A.
Peserta
Didik dan Peranannya
Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pendidikan. Peserta didik sangat tergantung dan membutuhkan
bantuan dari orang lain yang memiliki kewibawaan dan kedewasaan (Sutari Imam
Barnadib, 1995). Peserta didik itu masih dalam kondisi lemah, kurang berdaya,
belum bisa mandiri, dan serba kekurangan disbanding orang dewasa ; namun dalam
dirinya terdapat potensi bakat-bakat dan disposisi luar biasa yang memungkinkan
tumbuh dan berkembang melalui pendidikan karena ia selalu mengalami
perkembangan dari sejak lahir sampai meninggal.
Pandangan
modern tentang pendidikan dewasa ini melihat peserta didik adalah sebagai
persona, yaitu makhluk yang mempribadi tidak lagi sebagai obyek yang
non-pribadi sebagaimana pandangan para ahli pada abad pertengahan. Ciri khas
peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik adalah sebagai berikut (Umar
Tirtarahardja dan La Sulo, 1994) :
a. Individu
yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas
Artinya, sejak lahir ia
telah memiliki potensi-potensi yang berbeda dengan individu lain.
b. Individu
yang sedang berkembang
Artinya, dalam dirinya
selalu ada perubahan secara wajar baik yang ditujukan pada diri sendiri maupun
pada lingkungan.
c. Individu
yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
Artinya, ia membutuhkan
bantuan dan bimbingan dari pihak lain sesuai kodrat kemanusiaannya karena belum
dewasa.
d. Individu
yang memiliki kemampuan untuk mandiri
Karena dalam dirinya ada
kecendrungan untuk memerdekakan diri, sehingga mengharuskan pendidik dan orang
tua untuk memberi kebebasan dan pada akhirnya pendidik mengundurkan diri.
Keempat
ciri di atas merupakan justifikasi indikasi keunikan peserta didik sebagai
persona yang multidimensional. Dimensi individualitas mewujud dalam
kemandirian, ketekunan, kerja keras, keberanian, kepercayaan diri, keakuan,
semangat, dan ambisi. Dimensi sosoalitas tampak pada sikap kedermawanan, saling
menolong, toleransi, kerjasama, suka berbagi dengan sesame, beorganisasi, dan
hidup secara bermasyarakat. Dimensi religiusitas kelihatan dalam perilaku
ketaatan menjalankan akaran agama, beribadah, keyakinan akan adnya Tuhan, dan
ketaqwaan. Dimensi historisitas tampak pada kesenangan menyelidiki kisah-kisah
kunom kegemaran mencatat aneka kejadian sejarah, dan kemampuan mengkreasikan
sejarah. Dimensi moralitas terlihat pada pengetahuannya tentang nilai-nilai
moralitas universal dan local dan akibat-akibatnya.
Untuk
memperkuat hakekat manusia sebagai makhlik multidimensional, maka Notonagoro
(Dirto Hadisusanto, Suyati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995) menambahkan bahwa
secara kodrati peserta didik adalah sosok manusia yang memiliki aneka macam
kodrat yaitu kedudukan kodrat, susunan kodrat, dan sifat kodrat. Dari segi
krdudukan kodrat manusia bisa disebut sebagai makhluk yang berdiri sendiri di
satu sisi dan makhluk ber-Tuhan di sisi lain. Segi susunan kodratnya manusia
merupakan makhluk yang tersusun atas jiwa dan raga. Dari segi sifat kodratnya,
manusia merupakan makhluk individu di satu sisi dan makhluk sosial di sisi
lain. Berikut diagram skema hakekat kodrat peserta didik sebagai subyek manusia
(Dirto Hadisusanto, Suyati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995) :

makhluk berdiri makhluk
sendiri ber-Tuhan
(9) (10)
(1) alamiah (4)
cipta
(2) vegetatif (5)
rasa
![]() |
SUSUNAN KODRAT
RAGA JIWA
(4) animal (6)
karsa
(7) (8)
makhluk SIFAT KODRAT makhluk
individu social
Gambar 1 : skema
hakekat kodrat peserta didik sebagai manusia
B.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Peserta Didik
Sejak
lahir, bahkan sejak masih dalam kandungan ibunya, manusia merupakan kesatuan
psokofisis atau psikosomatis yang terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Karena itu merupakan sifat kodrat manusia yang harus mendapat perhatian secara
seksama. Istilah pertumbuhan digunakan untuk menyatakan perubahan-perubahan
kuantitatif mengenai fisik atau biologis dan istilah perkembangan digunakan
untuk perubahan-perubahan kualitatif mengenai aspek-aspek psikis atau rohani
dan aspek sosial. Dalam bukunya Crow and crow (Sutari Imam Barnadib, 1995),
kita mengenal beberapa usia perkembangan, diantaranya :
a. Usia
kronologis
b. Usia
kejasmanian
c. Usia
anatomis
d. Usia
kejiwaan
e. Usia
pengalaman
Charlotte Buhler juga mengemukakan bahwa
perkembangan yang terjadi pada peserta didik berlangsung melalui tahap-tahap,
yaitu : (a) masa permulaan, (b) masa penanjakan sampai kira-kira umur 5 tahun,
(c) masa puncak masa hidup pada umur 25 sampai 50 tahun, (d) masa penurunan dan
menarik diri dari kehidupan masyarakat, dan (e) masa akhir kehidupan. Namun
oleh Buhler, meskipun kemunduran biologis nyata terjadi, tetapi belum dapat
ditentukan apakah juga ada kemunduran fungsi psikhisnya.
Ada lima asas perkembangan pada diri
peserta didik menurut Sutari Imam Barnadin (1995) :
a. Tubuhnya
selalu berkembang sehingga semakin lama semakin dapat menjadi alat untuk
menyatakan kepribadiannya.
b. Anak
dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, hal ini menyebabkan dia terikat kepada
pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab.
c. Anak
membutuhkan pertolongan dan perlindungan serta pendidikan untuk kesejahteraanya.
d. Anak
mempunyai daya berekspresi yaitu kekuatan untuk menemukan hal-hal baru di dalam
lingkungannya dan menuntut pendidik untuk member kesempatan kepadanya.
e. Anak
mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan orang lain.
Para ahli telah menyusun teori
perkembangan peserta didik untuk mengkaji faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangannya, antara lain adalah :
1.
Nativisme
Istilah
nativisme berasal dari kata native
yang berarti terlahir, yaitu terlahir dengan bekal tertentu yang berupa aneka
potensi. Teori ini dipelopori oleh Schopenhauer (seorang filsuf yang psimisbangsa
Jerman, 1788-1860) yang berpendapat bahwa bayi manusia sejak lahir sudah
dikaruniai bekal bakat dan potensi baik dan buruk. Menurut teori ini, anak yang
sudah membawa potensi jahat nantinya akan menjadi manusia jahat, begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu yang akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan
manusia adlah factor dari dalam yaitu potensi baik buruk tersebut, sedangkan faktor
dari luar berupa pengalaman dari lingkungan tidak akan mempengaruhinya.
2.
Empirisme
Tokoh
teori ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-1704). Ia
mengembangkan satu teori yaitu teori tabula
rasa, bahwa anak lahir di dunia ini bagaikan kertas putih bersih (white paper), suatu tabula rasa (blank tablet) yang belum ditulisi.
Menurut aliran ini perkembangan peserta didik bergantung pada pengaruh dari
dunia luar atau yang disebut pendidikan. Menurut John Locke, perkembangan hadir
hanya melalui pembentukan keniasaan-kebiasaan melalui disiplin atau
latihan-latihan baik fisik, mental, dan moral. Teori ini juga disebut
disiplinisme dan bersikap optimis pada hasil pendidikan.
Teori
ini lebih menekannkan nilai proses belajar daripada nilai hal-hal yang
dipelajari. Tujuan akhir pendidikan menurut John Locke adalah pembentukan watak
(character) dalam arti luas yang
mencakup pembentukan manusia seutuhnya (whole
man) – fisik, mental, dan moral. Pandangan ini nampaknya juga berat sebelah
sebab hanya mementingkan peranan lingkungan dan pengalaman yang diperoleh dari
lingkungan sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap
tidak ada. Menurut kenyataan dalam sehari-hari, kita dapatkan anak yang
berhasil dalam studinya meskipun
lingkungan kurang mendukung. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan
yang berasal dari dalam diri anak yaitu kemampuan yang berupa kecerdasan atau
kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat mengembangkan
kemampuan yang telah ada dalam dirinya.
3.
Naturalisme
Teori
ini hampir sama dengan teori nativisme, karena keduanya sama-sama berasumsi
bahwa anak sejak lahir sudah memiliki pembawaan. Teori ini dipelopori oleh Jean
Jaques Rousseau (1712-1778) seorang filsuf Perancis yang berpendapat bahwa anal
sejak lahir sudah memiliki potensi baik dan tidak ada seorangpun yang lahir
dengan pembawaan buruk. Namun pembawaaan baik itu akan menjadi buruk karena
akan dipengaruhi lingkungan dan pendidikan yang diberikan oleh orang dewasa.
Oleh akrena itu supaya anak tidak terpengaruh dengan keburukan itu, maka anak
harus dijauhkan dari masyarakat. Akibat pandangan itulah maka teori ini dikenal
dengan teori negativisme.
Dalam
bukunya yang berjudul Emile, J.J. Rousseau menceritakan bagaimana pendidikan
harus dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik secara individual
dengan cara menjauhkan dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat (artificial) sehingga segenap potensi
kebaikan secara bebas, alamiah, dan spontan. Rousseau menginginkan
dikembangkannya aturan masyarakat yang demokratis sehingga kecenderungan
alamiah masyarakat dapat perwujudan sebagaimana adanya. Suatu bentuk pendidikan
tertentu perlu diselenggarakan untuk menjaga agar perwujudan alamiah itu tidak
dirugikan.
4.
Konvergensi
Teori
ini dipelopori oleh William Stern seorang ahli pendidikan bangsa Jerman
(1871-1939) yang berpendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu
disamping dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (teori Nativisme dan
Naturalisme) yaitu potensi yang dibawa sejak lahir juga dipengaruhi faktor
eksternal (teori empirisme) yaitu berupa pengalaman. Teori ini disebut sebagai
teori konvergensi dikarenakan menggabungkan aliran-aliran sebelumnya menjadi
memusat ke satu titik (konvergen).
pembawaan
|
C.
Teori-Teori
Perkembangan Peserta Didik
1.
Teori
Perkembangan Fisik
Teori
perkembangan fisik dikemukakan oleh Gassek dan Ames (1940) serta Illingsworth
(1983). Perkembangan fisik mencakup berat badan, tinggi badan, termasuk
perkembangan motorik. Dalam pendidikan, pengembangan fisik anak mencakup
pengembangan : kekuatan (strength),
ketahanan (endurance), kecepatan (speed), kecekatan (agility), dan keseimbangan (ballance).
Menurut Gassel serta Illingsworth yang dikutip oleh Slamet Suyanto (2005),
perkembangan motorik pada anak usia dini mengiluti 8 pola umum sebagai berikut
:
a. Continuity (keberlanjutan),
yakni suatu perkembangan yang dimulai dari yang sederhana kea rah yang lebih
kompleks.
b. Uniform sequence (kesamaan
tahapan), yakni suatu perkembangan yang memiliki tahapan sama untuk semua anak
untuk mencapai tahapan tersebut berbeda.
c. Maturity (kematangan),
yakni suatu perkembangan yang dipengaruhi perkembangan sel syaraf.
d. From general to specific process (proses
dari umum ke khusus), yakni perkembangan yang dimulai dari gerak yang bersifat
umum kepada gerak yang bersifat khusus.
e. Dari
gerak refleks bawaan kea rah terkoordinasi, yakni suatu perkembangan yang
dimulai dari gerak refleks bawaan yang dibawa sejal lahir ke dunia kepada aneka
gerak yang terkoordinasi dan bertujuan.
f. Chepalo-caudal direction, yakni
suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati ekor.
g. Proximo-distal, yakni
suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati sumbu tubuh
berkembang lebih dahulu daripada yang lebih jauh.
h. From bilateral to crossteral
coordinate, yakni suatu perkembangan yang dimulai
dari koordinasi organ yang sama berkembang lebih dahulu sebelum bisa melakukan
koordinasi organ bersilangan.
2.
Teori
Perkembangan Biologis
Sekelompok
ahli dalam membuat tahapan itu mendasarkan diri pada keadaan atau proses
biologis tertentu ; diantara pendapat-pendapat yang demikian itu misalnya :
Aristoteles, Kretschmer, dan Freud.
Pendapat
Aristoteles
Aristoteles
menggambarkan perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa itu dalam 3 face,
yang masing-masing lamanya 7 tahun, yaitu :
Fase
I : dari 0,0 sampai 7,0 :
masa anak kecil atau masa bermain
Fase II :
dari 7,0 sampai 14,0 : masa anak, masa belajar atau masa sekolah rendah
Fase III :
dari 14,0 sampai 21,0 : masa remaja atau pubertas ; masa peralihan dari anak
menjadi orang dewasa
Penetapan
ini didasarkan atas gejala dalam perkembangan jasmani. Hal ini mudah
ditunjukkan: antara fase I dan fase II dibatasi oleh pergantian gigi, antara
fase II dan III ditandai oleh mulai berfungsinya kelengkapan kelamin (misalnya
kelenjar).
Pendapat Kretschmer
Kretschmer mengemukakan bahwa dari
lahir sampai dewasa individu melewati 4 fase, yaitu :
Fase
I : dari 0,0 sampai kira-kira
3,0 :
Fullungsperiode I ; pada
fase ini anak kelihatan pendek gemuk.
Fase
II : dari kira-kira 3,0 sampai
7,0 :
Sterckungsperiode
I : pada fase ini anak kelihatan langsing (memanjang/meninggi)
Fase
II : dari kra-kira 7,0 sampai
13,0 :
Fullungsperiode
I ; pada fase ini anak kelihatan pendek gemuk kembali
Fase
IV : dari kira-kira 3,0 sampai
7,0 :
Sterckungsperiode
I : Pada periode ini anak kembali kelihatan langsing
Kehidupan
psikis anak-anak pada fase-fase tersebut juga menunjukkan sifat-sifat yang
khas. Pada fase-fase Fullung anak menunjukkan sifat-sifat yang mirip dengan
tempramen orang berkonstitusi piknik, jadi seperti orang yang cyclothym : jiwanya terbuka, mudah
bergaul, mudah didekati, dan sebagainya.
Pendapat Freud
Freud
berpendapat bahwa anak sampai kira-kira sampai kira-kira umur 5,0 melewati fase
yang terdiferensiasikan secara dinamika, kemudian sampai umur 12,0 atau 13,0
mengalami masa tenang atau fase laten ; pada masa ini dinamika menjadi stabil.
Dengan datangnya masa remaja (pubertas) dinamika meletus lagi, dan selanjutnya
makin tenang kalau orang menjadi semakin dewasa, yaitu sekitar umur 20,0.
Walaupun perkembangan kea rah kedewasaan itu berlangsung sampai induvidu
berumur sekitar 20,0, namun bagi Freus masa yang paling menentukan dalam
pembentukan kepribadian adalah masa sampai 50,0. Adapun fase-fase perkembangan
itu yaitu :
Umur
(tahun)
|
Fase
Perkembangan
|
Perubahan
perilaku
|
0,0
– 1,0
|
Fase
oral
|
Mulut
merupakan daerah pokok aktivitas dinamik
|
1,0
– 3,0
|
Fase
anal
|
Dorongan
dan tahanan berpusat pada fungsi pembuangan kotoran
|
3,0
– 5,0
|
Fase
felis
|
Alat
kelamin merupakan daerah erogen terpenting
|
5,0
– 13,0
|
Fase
laten
|
Impuls-impuls
atau dorongan-dorongan cenderung terdesak dan mengendap ke dalam bawah sadar
|
13,0
– 20,0
|
Fase
pubertas
|
Impuls-impuls
mulai menonjol dan muncul kembali. Apabila bisa dipindahkan dan
disublimasikan oleh das ich (alam
sadar) dengan berhasil, maka ia bisa sampai pada masa kematangan
|
20,0
ke atas
|
Fase
genital
|
Individu
yang sudah mencapai fase ini telah siap untuk terjun ke dalam kehidupan
masyarakat luas
|
Gambar
4 : tahap perkembangan peserta didik menurut Sigmund Freud
3.
Teori
Perkembangan Intelektual
Ahli-ahli yang mengikuti pendapat ini
menyatakan bahwa apabila orang berbicara tentang perkembangan psikologis, maka
hendaknya dia menggunakan hal-hal psikologis sebagai landasan, bukan keadaan
biologis atau keadaan-keadaan lain. Kelompok ahli ini, yang dirintis oleh Kroh,
mencari pengalaman-pengalaman psikologis mana yang khas bagi individu pada
umumnya yang dapat dugunakan sebagai masa perpindahan dari fase satu ke fase
lain dalam perkembangannya. Kelompok ini beranggapan bahwa dalam perkembangan
pada umumnya individu mengalami masa-masa kegoncangan. Kalau perkembangan itu
dapat dilukiskan sebagai evolusi, maka pada masa kegoncangan itu evolusi
tersebut berubah menjadi revolusi.
Kegoncangan psikis itu dialami oleh
hamper setiap orang, karena itu dapat digunakan sebagai ancar-ancar perpindahan
dari masa satu ke masa lain. Pada umumnya, selama perkembangan individu mengalami
masa kegoncangan dua kali, yaitu pertama kira-kira tahun ketiga atau keempat,
dan yang kedua pada permulaan masa pubertas.
Pendapat
Jean Piaget
Suatu pendapat lain yang berdasarkan
atas keadaan psikologis, terutama perkembangan intelektual, adalah Piaget, yang
cepat sekali perkembangan dan tingkat popularitasnya, termasuk di Indonesia.
Menurut Piaget perkembangan intelektual peserta didik berlangsung dalam :
Umur
(tahun)
|
Fase
Perkembangan
|
Perubahan
Perilaku
|
0,0
– 2,0
|
Tahap sensori motor
|
Kemampuan
berfikir baru melalui gerakan atau perbuatan. Perkembangan panca indera
sangat berpengaruh dalam diri mereka. Keinginan terbesarnya adalah keinginan
untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui
reaksi dari perbuatannya. Pada usia ini mereka belum mengerti akan motivasi
dan senjata terbesarnya adalah ‘menangis’. Member pengetahuan pada mereka
pada usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai
alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak.
|
2,0
– 7,0
|
Tahap
pra-operasional
|
Kemampuan
skema kognitif masih terbatas, suka meniru perilaku orang lain terutama
meniru perilaku orang tua atau guru yang pernah ia lihat ketika orang itu
merespons terhadap perilaku orang, keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada
masa lampau. Mulai mampu menggunakan kata-kata yang benat dan mampu
mengekspresikan kalimat pendek secara efektif.
|
7,0
– 11,0
|
Tahap operasional
kongkrit
|
Peserta
didik sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi, misalnya volume dan
jumlah; mempeunyai kemampuan memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan
benda yang tingkatannya bervariasi. Sudah mampu berpikir sistematis mengenai
benda-benda dan peristiwa konkret
|
11,0
– 14,0
|
Tahap operasional
formal
|
Telah
memiliki kemampuan mengkoordinasikan 2 ragam kemampuan kognitif, secara
serentak maupun berurutan. Misalnya kapasitas merumuskan hipotesis dan
menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan kapasitas merumuskan hipotesis ia
mampu berpikir memecahkan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang
relevan dengan lingkungan. Sedang dengan kapasitas menggunakan
prinsip-prinsip abstrak, seperti agama, matematika, dan lainnnya.
|
Gambar
4 : Tahap perkembangan peserta didik menurut Jean Piaget
Berdasarkan
teori ini dapat diketahui 3 dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual yaitu (Ruseffendi, 1988) : (1) bahwa perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan
urutan yang sama, (2) bahwa tahap-tahap perkembangan didefinisikan sebagai cluster dari operasi mental (pengurutan,
pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, (3) bahwa gerak melalui
tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan interaksi
antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
4.
Teori
Perkembangan Sosial
Salah
seorang tokoh psikologi perkembangan yang merumuskan teori perkembangan social
peserta didik adalah Erik Erikson. Dia sangat dikenal dengan tulisan-tulisannya
di bidang psikologi anak. Berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan
psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan
seksual.erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek
perkembangan social. Dia mengembangkan teori yang disebut teori perkembangan
psokososial (theory of psychosocial
development) dimana ia membagi tahap-tahap perkembangan manusia menjadi 8
tahapan, yaitu :
Umur
(tahun)
|
Fase
Perkembangan
|
Perubahan
perilaku
|
0,0 – 1,0
|
Trust
vs
Mistrust
|
Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa
percaya diri kepada orang lain. Focus terletak pada panca indra, sehingga
mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan.
|
2,0 – 3,0
|
Autonomy
vs
Shame
|
Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa
pemberontakan anak atau masa ‘nakal’-nya. Namun kenakalannya tidak dapat
dicegah begitu saja, karena tahap ini anak sedang mengembangkan kemampuan
motorik (fisik) dan mental (kognitif), sehingga yang diperlukan justru
mendorong dan memberikan tempat untuk mengembangkan motorik dan mental. Pada
saat ini anak sangat terpengaruh oleh orang-orang penting di sekitarnya,
missal orang tua dan guru.
|
4,0 – 5,0
|
Inisiative
vs
Guilt
|
Mereka banyak bertanya dalam segala hal, sehingga
berkesan cerewet. Mereka juga mengalami pengembangan inisiatif/ide, sampai
pada hal-hal yang berbau fantasi. Perkembangan lain yang harus tercipta
adalah identitas diri terutama yang berhubungan dengan jenis kelamin. Anak
belajar menjadi laki-laki atau perempuan bukan hanya dari alat kelaminnya
tapi juga perlakuan orang di sekelilingnya kepada mereka. Fase ini menjadi
penting karena umumnya anak merasakan secara psikologis pengaruh dari jenis
kelaminnya. Anak laki-laki cenderung menjadi lebih saying pada ibu, anak
perempuan lebih saying pada ayah.
|
6,0 – 11,0
|
Industry
vs
Interiority
|
Mereka sudah bisa mengerjakan tugas-tugas sekolah
dan termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk
kurang hati-hati dan menuntut perhatian.
|
12,0 – 18/20
|
Ego-identify
vs
Role on fusion
|
Tahap ini manusia ingin mencari identitas dirinya.
Anak yang sudah beranjak menjadi remaja mulai ingin tampil memegang peran-peran
social di masyarakat. Namun masih belum bisa mengatur dan memisahkan tugas
dalam peran yang berbeda.
|
18/19 – 30
|
Intimacy
vs
Isolation
|
Memasuki tahap
ini, manusia sudah mulai siap menjalin hubungan intim dengan orang lain,
membangun bahtera rumah tangga bersama calon pilihannya.
|
31 – 60
|
Generativity
vs
Stagnation
|
Tahap ini ditandai dengan munculnya kepedulian
yang tulus terhadap sesame. Tahap ini terjadi saat seseorang telah memasuki
usia dewasa.
|
60 ke atas
|
Ego integrity
vs Putus asa
|
Masa ini dimulai pada usia 60-an, dimana manusia
mulai mengembangkan integritas dirinya.
|
Gambar 5 : tahap perkembangan peserta didik menurut Erik Erikson
5.
Teori
Perkembangan Mental
Lev Vygotsky slaah satu tokoh pencetus
tori perkembangan mental ppeserta didik. Sumbangan penting yang diberikan
Vygotsky dalam pembelajaran adalah konsep zone
of proximal development (ZPD) dan scaffolding.
ZPD adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan
seseorang saat itu. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila anak
bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu
berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zone of proximal development (ZPD. Vygotsky
juga yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam
kerjasama atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi
terserap ke dalam individu tersebut (Slavin, 1994). Sedangkan scaffolding adalah memberikan kepada
siswa sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian
mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepadanya mengambil alih
tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya (Slavin,
1994).
Ada 2 implikasi utama teori Vygotsky
dalam pendidikan (Howe and Jones,
1993). Pertama, perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar
siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan
saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam
masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran
menekankan scaffolding, yakni dengan
semakin lama siswa belajar akan semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaran
sendiri. Pendek kata, menurut teori Vygotsky siswa perlu belajar dan bekerja
secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi dengan lainnya
disertai bantuan guru terhadap parta siswa tersebut dalam kegiatan
pembelajaran.
6.
Teori
Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat istiadat,
kelakuan, tabiat, akhlak, akaran tentang kesusilaan, dan tata cara dalam
kehidupan. Pertama-tama teori ini dikembangkan oleh Jhon Dewey kemudian
dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh
et.al, 1980). John Dewey membegi perkembangan moral anak menjadi 3 tahap
tingkatan, yaitu :
a. Tahap
“premoral” atau “ preconventional”. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan
yang bersifat fisikal atau sosial.
b. Tahap
“conventionak”. Seseorang mulai bisa menerima
nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada criteria kelompoknya.
c. Tahap
“autonomous”. Seseorang sudah mulai
bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan
dirinya sendiiri, tidak sepenuhnya menerima criteria kelompoknya.
Senada dengan Dewey, Piaget juga
berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral anak-anak sebagai peserta
didik melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan
terhadap anak-anak ketika bermain dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa
mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa
perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral
mereka. Menurutnya ketidakmatangan moral anak dikarenakan 2 hal, yakni : (1)
keterbatasan moral anak : egosentris dan realistik, (2) rasa hormat pada orang
tua/dewasa yang heterogen. Dalam pandangannya tentang tahap-tahap perkembangan
morak, Piaget membagi ke dalam 3 tahap, yaitu :
Umur
(tahun)
|
Fase
perkembangan
|
Perubahan
perilaku
|
0,0
– 3,0
|
Non-morality
|
Anak
belum mengenal moral.
|
4,0
– 8,0
|
Heteronomous
|
Anak
sudah mulai menerima dan memiliki aturan begitu saja dari orang lain yang
dipandang tidak bisa diubah. Pada tahap ini disebut sebagai masa relisme (stage of moral realism) atau moralitas
berkenadala (constraint morality).
Tugas dan kewajiban dipandangnya sebagai wujud suatu kepatuhan.
|
9,0
– 12,0
|
autonomous
|
Bahwa
moral dipandang sebagai persetujusn bersama secara timbale balik, dapat
dipelihara dan diubah sesuai kebutuhan kolektif. Merupakan moralitas
bekerjasama (collaborate
morality). Tugas dan kewajiban dipandang sebagai kesesuaian dengan
harapan-harapan dan kesejahteraan bersama.
|
Gambar
6 : tahap perkembangan peserta didik menurut Jean Piaget
Selain
kedua tokoh di atas, Lawrence Kohlberg (1977) adalah tokoh yang paling popular
juga. Kohlberg mengembangkan teorinya berdasarkan pada asumsi-asumsi umum tentang
teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget. Tahap-tahap perkembangan
moral menurut Dewey yaitu :
a. Tahap
preconventional. Pada tahap ini ada 2
tingkatan. Tingkat-1 adalah moralitas heteronomous,
moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh cirri-ciri dan akibat yang
bersifat fisik. Tingkat-2 adalah moralitas
individu dan timbak balik, seseorang sudah mulai sadar dengan aneka tujuan
dan keperluan orang lain. Seseorang akan berusaha untuk memenuhi kepentingan
diri sendiri dengan memperhatikan juga kepentingan orang lain.
b. Tahap
conventional. Pada tahap ini ada 2
tingkatan sebagai kelanjutan sebelumnya yaitu : tingkat-3 moralitas harapan saling antara individu. Pada tingkatan ini
criteria baik atau buruknya suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma
bersama dan hubungan saling mempercayai. Tingkat-4 yaitu moralitas system social dan kata hati, sesuatu perbuatan dinilai
baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang
menjamin ketertiban dalam masyarakat.
c. Tahap
post-conventional. Pada tahap ini
terdapat 3 tingkatan, yaitu tingkat -4,5 : tingkat
transisi dimana seseorang belum sampai pada tingkat post-conventional yang sebenarnya. Pada tingkat ini criteria benar
atau salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang
jelas dalam mengambil suatu keputusan moral. Tingkat-5 yaitu moralitas kesejahteraan social dan hak-hak
manusia, criteria dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak
individu serta sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Tingkat-6 adalah moralitas yang
didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Pada tingkatan ini ukuran
benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip
moral yang logis, konsisten, dan bersifat universal.
7.
Tipologi
Kepribadian Peserta Didik
Henry Alexander Murray membagi tipe
kepribadian peserta didik anak khususnya usia dini menjadi beberapa macam,
yaitu :
a. Autonomy,
yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan keinginan melakukan sesuatu secara
sendiri, tidak senang dibantu orang lain, tidak senang disuruh-suruh.
b. Affiliation, yaitu
tipe kepribadian yang ditandai dengan senang bersama anak lain, suka
bersahabat, suka memperbanyak teman, saling membutuhkan dengan teman dan
sahabatnya.
c. Succurance, yaitu
tipe kepribadian yang ditandai dengan selalu manja, ingin orang lain
membantunya, ingin minta tolong.
d. Nurturance, yaitu
tipe kepribadian yang ditandai dengan sikap pemurah yakni senang member kepada
teman, senang meminjami, selalu membagi-bagi apa yang dimiliki kepada temannya.
e. Aggression, yaitu
tipe kepribadian yang ditandai dengan sikap-sikap agresif, mudah tersinggung
dan marah, jika diganggu akan menyerang balik dengan keras bahkan berlebihan.
f. Dominance, yaitu
tipe kepribadian yang ditandai dengan ingin menguasai atau mengatur teman,
ingin tampil menonjol, ingin menjadi ketua kelas atau pengurus kelas.
g. Achievement, yaitu
tipe kepribadian yang ditandai dengan semangat kerja yang tinggi untuk berprestasi,
ingin bisa melakukan sesuatu karya, tugas-tugas di sekolah dikerjakan
sungguh-sungguh dan cenderung tak mau dibantu.
8.
Kecerdasan
Ganda Peserta Didik
Kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk
memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar
budaya tertentu. Rentang masalah atau sesuatu yang dihasilkan mulai dari yang
sederhana sampai yang kompleks. Seseorang dikatakan cerdas bila ia dapat
memecahkan masalah yang dihadapi dalam hidupnya dan mampu menghasilkan sesuatu
yang berharga/berguna bagi umat manusia.
Howard Gardner memperkenalkan sekaligus
mempromosikan hasil penelitian Project Zero di Amerika yang berkaitan dengan
kecerdasan ganda (multiple intelligences).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada satuan kegiatan manusia yang
hanya menggunakan satu macam kecerdasan, melainkan seluruh kecerdasan yang
selama ini dianggap ada 7 macam kecerdasan dan pada buku yang mutakhir ditambah
lagi 3 macam kecerdasan. Secara keseluruhan semua kecerdasan tersebut dapat
diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang menonjol akan mengontrol kecerdasan
lainnya dalam memecahkan masalah.
Kesepuluh macam kecerdasan itu antara
lain :
a. Kecerdasan
verbal/bahasa (verbal/linguistic
intelligence)
Kecerdasan ini
bertanggungjawab terhadap semua hal tentang berbahasa baik lisan maupun
tertulis. Peserta didik dengan kecerdasan lingual tinggi umumnya ditandai
dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa,
memiliki daya ingat kuat, lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan, dan
memiliki kemampuan lebih cepat dalam penguasaan bahasa baru.
b. Kecerdasan
logika/matematik (logical/spasial
intelligence)
Kecerdasan ini sering
disebut berpikir ilmiah, termasuk berpikir deduktif dan induktif. Peserta didik
dengan kecerdasan matematik tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis
dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapi,
menyenangi berpikir secara konseptual, menyukai aktivitas berhitung, dan
mempunyai kecepatan tinggi dalm menyelesaikan problem matematika.
c. Kecerdasan
visual/ruang (visual/spatial intelligence)
Kunci dari kecerdasan
ini ialah kemampuan berimajinasi dan indera pandang. Keserdasan ini berkaitan
dengan misalnya seni rupa, navigasi, arsitektur, dan permainan catur. Cerita
khayal pada masa kecil seperti mengkhayal, mimpi terbang, mempunyai kekuatan
ajaib, sebagai pahlawan, sangat erat dengan perkembangan kecerdasan ini.
d. Kecerdasan
tubuh/gerak tubuh (body/kinesthetic
intelligence)
Kecerdasan tubuh
mengendalikan kegiatan tubuh untuk menyatakan perasaan. Tubuh manusia
mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh pikiran. Gerak tubuh dapat untuk
memahami dan berkomunikasi, dan tidak jarang dapat menyentuh sisi jiwa manusia
yang paling dalam.
e. Kecerdasan
musical/ritmik (musical/rhythmic
intelligence)
Kecerdasan ritmik
melibatkan kemampuan manusia untuk mengenali dan menggunakan ritme dan nada,
serta kepekaan terhadap bunyi-bunyian di lingkungan sekitar manusia. Dari semua
kecerdasan, perubahan kesadaran manusia banyak disebabkan oleh musik dan ritme.
Music dapat menenangkan pikiran, memacu kembali aktivitas, memperkuat semangat
nasional, dan dapat meningkatkan keimanan serta rasa syukur.
f. Kecerdasan
interpersonal (interpersonal intelligence)
Kecerdasan ini
berhubungan dengan kemampuan bekerja sama dan berkomunikasi bail verbal maupun
non verbal dengan orang lain. Pada tingkat yang lebih tinggi, kecerdasan ini
dapat membaca konteks kehidupan orang lain, kecenderungannya, dan kemungkinan
keputusan yang akan diambil. Kecerdasan ini tampak pada para profesional
seperti konselor, guru, teraphis, poltisi, dan pemuka agama.
g. Kecerdasan
intrapersonal (intrapersonal intelligence)
Kecerdasan ini
mengendalikan pemahaman terhadap aspek internal diri seperti perasaan, proses
berpikir, refleksi diri, intuisi, dan spiritual. Identitas diri dan kemampuan
mentransendenkan diri merupakan bagian kecerdasan ini. Menurut Gardver,
kecerdasan ini merupakan jenis yang paling individu sifatnya, dan untuk
menggunakannya diperlukan semua kecerdasan yang lain.
h. Kecerdasan
naturalis (naturalistic intelligence)
Peserta didik dengan
kecerdasan ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam. Oleh karenanya
mereka menyukai alam-alam bebas, binatang, dan petualangan alam dimana mereka
bisa belajar.
i.
Kecerdasan spiritual (spiritualist intelligence)
Kecerdasan ini banyak
dimiliki oleh para rohaniwan. Kecerdasan ini berkaitan dengan bagaimana manusia
berhubungan dengan Tuhannya. Kecerdasan ini dapat dikembangkan pada setiap
orang melalui pendidikan agama, kontemplasi kepercayaan, dan refleksi teologis.
j.
Kecerdasan eksistensial (exsistensialist intelligence)
Kecerdasan ini banyak
dijumpai pada para filsuf. Mereka mampu menyadari dan menghayati dengan benar
keberadaan dirinya di dunia dan apa tujuan hidupnya. Melalui kontemplasi dan
refleksi diri kecerdasan ini dapat berkembang.
9.
Peserta
Didik Berbakat
Bakat merupakan suatu kelebihan yang
dimiliki oleh peserta didik yang mengarah pada aneka kemampuan. Sedangkan minat
adalah keinginan yang berasal dari dalam diri peserta didik terhadap obyek atau
aktivitas tertentu. Menurut Yaumil (1991) ada 3 kelompok cirri keberbakatan,
yitu : (1) kemampuan umum yang tergolong di atas rata-rata (above average ability), (2) kreativitas
(creativity) yang tergolong tinggi,
(3) komitmen terhadap tugas (task
comitment) yang tergolong tinggi. Sedangkan Munandar (1992) menyebut
cirri-ciri peserta didik berbakat adalah : pertama,
indikator intelektual/belajar, mencakup : kemudahan dalam menangkap
pelajaran, kemudahan mengingat kembali, memiliki perbendaharaan kata yang luas,
penalaran yang tajam, daya konsentrasi baik, senang membaca. Kedua, indikator kreativitas, mencakup :
memiliki rasa ingin tahi yang besar, sering mangajukan pertanyaan yang
berbobot, memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, memiliki
rasa humor tinggi, memiliki daya imajinasi kuat, senagn mencoba hal-hal baru,
kemampuan elaborasi atau mengembangkan suatu gagasan.
Ketiga,
indicator
motivasi, meliputi : tekun menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, tidak
memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi, senang dan rajin belajar,
penuh semangat, cepat bosan dengan tugas-tugas rutin, serta senag mencari dan
memecahkan soal-soal.
1 komentar:
bisa buat belajar UAS :) terimakasih :)
Posting Komentar