Jumat, 07 Desember 2012

Peserta Didik

A.    Peserta Didik dan Peranannya
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Peserta didik sangat tergantung dan membutuhkan bantuan dari orang lain yang memiliki kewibawaan dan kedewasaan (Sutari Imam Barnadib, 1995). Peserta didik itu masih dalam kondisi lemah, kurang berdaya, belum bisa mandiri, dan serba kekurangan disbanding orang dewasa ; namun dalam dirinya terdapat potensi bakat-bakat dan disposisi luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan karena ia selalu mengalami perkembangan dari sejak lahir sampai meninggal.
Pandangan modern tentang pendidikan dewasa ini melihat peserta didik adalah sebagai persona, yaitu makhluk yang mempribadi tidak lagi sebagai obyek yang non-pribadi sebagaimana pandangan para ahli pada abad pertengahan. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik adalah sebagai berikut (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994) :
a.       Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas
Artinya, sejak lahir ia telah memiliki potensi-potensi yang berbeda dengan individu lain.
b.      Individu yang sedang berkembang
Artinya, dalam dirinya selalu ada perubahan secara wajar baik yang ditujukan pada diri sendiri maupun pada lingkungan.
c.       Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
Artinya, ia membutuhkan bantuan dan bimbingan dari pihak lain sesuai kodrat kemanusiaannya karena belum dewasa.
 d.      Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri
Karena dalam dirinya ada kecendrungan untuk memerdekakan diri, sehingga mengharuskan pendidik dan orang tua untuk memberi kebebasan dan pada akhirnya pendidik mengundurkan diri.
Keempat ciri di atas merupakan justifikasi indikasi keunikan peserta didik sebagai persona yang multidimensional. Dimensi individualitas mewujud dalam kemandirian, ketekunan, kerja keras, keberanian, kepercayaan diri, keakuan, semangat, dan ambisi. Dimensi sosoalitas tampak pada sikap kedermawanan, saling menolong, toleransi, kerjasama, suka berbagi dengan sesame, beorganisasi, dan hidup secara bermasyarakat. Dimensi religiusitas kelihatan dalam perilaku ketaatan menjalankan akaran agama, beribadah, keyakinan akan adnya Tuhan, dan ketaqwaan. Dimensi historisitas tampak pada kesenangan menyelidiki kisah-kisah kunom kegemaran mencatat aneka kejadian sejarah, dan kemampuan mengkreasikan sejarah. Dimensi moralitas terlihat pada pengetahuannya tentang nilai-nilai moralitas universal dan local dan akibat-akibatnya.
Untuk memperkuat hakekat manusia sebagai makhlik multidimensional, maka Notonagoro (Dirto Hadisusanto, Suyati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995) menambahkan bahwa secara kodrati peserta didik adalah sosok manusia yang memiliki aneka macam kodrat yaitu kedudukan kodrat, susunan kodrat, dan sifat kodrat. Dari segi krdudukan kodrat manusia bisa disebut sebagai makhluk yang berdiri sendiri di satu sisi dan makhluk ber-Tuhan di sisi lain. Segi susunan kodratnya manusia merupakan makhluk yang tersusun atas jiwa dan raga. Dari segi sifat kodratnya, manusia merupakan makhluk individu di satu sisi dan makhluk sosial di sisi lain. Berikut diagram skema hakekat kodrat peserta didik sebagai subyek manusia (Dirto Hadisusanto, Suyati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995) :



KEDUDUKAN KODRAT
makhluk berdiri                                                                                                          makhluk
sendiri                                                                                                                           ber-Tuhan
(9)                                                                                                                                  (10)

(1) alamiah                                                                                                  (4) cipta
(2) vegetatif                                                                                 (5) rasa


 

SUSUNAN KODRAT
RAGA                                                                                                                           JIWA     
(4)  animal                                                                                                                   (6) karsa

(7)                                                                                                                                  (8)
makhluk                                           SIFAT KODRAT                                            makhluk
individu                                                                                                                        social


Gambar 1 : skema hakekat kodrat peserta didik sebagai manusia


B.     Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik
Sejak lahir, bahkan sejak masih dalam kandungan ibunya, manusia merupakan kesatuan psokofisis atau psikosomatis yang terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Karena itu merupakan sifat kodrat manusia yang harus mendapat perhatian secara seksama. Istilah pertumbuhan digunakan untuk menyatakan perubahan-perubahan kuantitatif mengenai fisik atau biologis dan istilah perkembangan digunakan untuk perubahan-perubahan kualitatif mengenai aspek-aspek psikis atau rohani dan aspek sosial. Dalam bukunya Crow and crow (Sutari Imam Barnadib, 1995), kita mengenal beberapa usia perkembangan, diantaranya :
a.       Usia kronologis
b.      Usia kejasmanian
c.       Usia anatomis
d.      Usia kejiwaan
e.       Usia pengalaman
Charlotte Buhler juga mengemukakan bahwa perkembangan yang terjadi pada peserta didik berlangsung melalui tahap-tahap, yaitu : (a) masa permulaan, (b) masa penanjakan sampai kira-kira umur 5 tahun, (c) masa puncak masa hidup pada umur 25 sampai 50 tahun, (d) masa penurunan dan menarik diri dari kehidupan masyarakat, dan (e) masa akhir kehidupan. Namun oleh Buhler, meskipun kemunduran biologis nyata terjadi, tetapi belum dapat ditentukan apakah juga ada kemunduran fungsi psikhisnya.
Ada lima asas perkembangan pada diri peserta didik menurut Sutari Imam Barnadin (1995) :
a.       Tubuhnya selalu berkembang sehingga semakin lama semakin dapat menjadi alat untuk menyatakan kepribadiannya.
b.      Anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, hal ini menyebabkan dia terikat kepada pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab.
c.       Anak membutuhkan pertolongan dan perlindungan serta pendidikan untuk kesejahteraanya.
d.      Anak mempunyai daya berekspresi yaitu kekuatan untuk menemukan hal-hal baru di dalam lingkungannya dan menuntut pendidik untuk member kesempatan kepadanya.
e.       Anak mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan orang lain.
Para ahli telah menyusun teori perkembangan peserta didik untuk mengkaji faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangannya, antara lain adalah :
1.      Nativisme
Istilah nativisme berasal dari kata native yang berarti terlahir, yaitu terlahir dengan bekal tertentu yang berupa aneka potensi. Teori ini dipelopori oleh Schopenhauer (seorang filsuf yang psimisbangsa Jerman, 1788-1860) yang berpendapat bahwa bayi manusia sejak lahir sudah dikaruniai bekal bakat dan potensi baik dan buruk. Menurut teori ini, anak yang sudah membawa potensi jahat nantinya akan menjadi manusia jahat, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu yang akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia adlah factor dari dalam yaitu potensi baik buruk tersebut, sedangkan faktor dari luar berupa pengalaman dari lingkungan tidak akan mempengaruhinya.
2.      Empirisme
Tokoh teori ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-1704). Ia mengembangkan satu teori yaitu teori tabula rasa, bahwa anak lahir di dunia ini bagaikan kertas putih bersih (white paper), suatu tabula rasa (blank tablet) yang belum ditulisi. Menurut aliran ini perkembangan peserta didik bergantung pada pengaruh dari dunia luar atau yang disebut pendidikan. Menurut John Locke, perkembangan hadir hanya melalui pembentukan keniasaan-kebiasaan melalui disiplin atau latihan-latihan baik fisik, mental, dan moral. Teori ini juga disebut disiplinisme dan bersikap optimis pada hasil pendidikan.
Teori ini lebih menekannkan nilai proses belajar daripada nilai hal-hal yang dipelajari. Tujuan akhir pendidikan menurut John Locke adalah pembentukan watak (character) dalam arti luas yang mencakup pembentukan manusia seutuhnya (whole man) – fisik, mental, dan moral. Pandangan ini nampaknya juga berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan lingkungan dan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak ada. Menurut kenyataan dalam sehari-hari, kita dapatkan anak yang berhasil dalam studinya meskipun lingkungan kurang mendukung. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri anak yaitu kemampuan yang berupa kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat mengembangkan kemampuan yang telah ada dalam dirinya.
3.      Naturalisme
Teori ini hampir sama dengan teori nativisme, karena keduanya sama-sama berasumsi bahwa anak sejak lahir sudah memiliki pembawaan. Teori ini dipelopori oleh Jean Jaques Rousseau (1712-1778) seorang filsuf Perancis yang berpendapat bahwa anal sejak lahir sudah memiliki potensi baik dan tidak ada seorangpun yang lahir dengan pembawaan buruk. Namun pembawaaan baik itu akan menjadi buruk karena akan dipengaruhi lingkungan dan pendidikan yang diberikan oleh orang dewasa. Oleh akrena itu supaya anak tidak terpengaruh dengan keburukan itu, maka anak harus dijauhkan dari masyarakat. Akibat pandangan itulah maka teori ini dikenal dengan teori negativisme.
Dalam bukunya yang berjudul Emile, J.J. Rousseau menceritakan bagaimana pendidikan harus dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik secara individual dengan cara menjauhkan dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat (artificial) sehingga segenap potensi kebaikan secara bebas, alamiah, dan spontan. Rousseau menginginkan dikembangkannya aturan masyarakat yang demokratis sehingga kecenderungan alamiah masyarakat dapat perwujudan sebagaimana adanya. Suatu bentuk pendidikan tertentu perlu diselenggarakan untuk menjaga agar perwujudan alamiah itu tidak dirugikan.
4.      Konvergensi
Teori ini dipelopori oleh William Stern seorang ahli pendidikan bangsa Jerman (1871-1939) yang berpendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu disamping dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (teori Nativisme dan Naturalisme) yaitu potensi yang dibawa sejak lahir juga dipengaruhi faktor eksternal (teori empirisme) yaitu berupa pengalaman. Teori ini disebut sebagai teori konvergensi dikarenakan menggabungkan aliran-aliran sebelumnya menjadi memusat ke satu titik (konvergen).
pembawaan



Oleh karena itu implikasi teori ini adalah : (1) pendidikan mungkin dilaksanakan, (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah potensi yang buruk atau kurang baik, (3) yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan. Namun demikian teori konvergensi dianggap para ahli masih menyisakan permasalahan karena teori ini dianggap tidak bisa menjelaskan lebih lanjut dinamika perkembangan pasca pertemuan dua faktor bawaan dan lingkungan. Untuk itu Jean Piaget mengembangkan teori interaksi dengan gambar sebagai berikut :


     

C.    Teori-Teori Perkembangan Peserta Didik
1.      Teori Perkembangan Fisik
Teori perkembangan fisik dikemukakan oleh Gassek dan Ames (1940) serta Illingsworth (1983). Perkembangan fisik mencakup berat badan, tinggi badan, termasuk perkembangan motorik. Dalam pendidikan, pengembangan fisik anak mencakup pengembangan : kekuatan (strength), ketahanan (endurance), kecepatan (speed), kecekatan (agility), dan keseimbangan (ballance). Menurut Gassel serta Illingsworth yang dikutip oleh Slamet Suyanto (2005), perkembangan motorik pada anak usia dini mengiluti 8 pola umum sebagai berikut :
a.       Continuity (keberlanjutan), yakni suatu perkembangan yang dimulai dari yang sederhana kea rah yang lebih kompleks.
b.      Uniform sequence (kesamaan tahapan), yakni suatu perkembangan yang memiliki tahapan sama untuk semua anak untuk mencapai tahapan tersebut berbeda.
c.       Maturity (kematangan), yakni suatu perkembangan yang dipengaruhi perkembangan sel syaraf.
d.      From general to specific process (proses dari umum ke khusus), yakni perkembangan yang dimulai dari gerak yang bersifat umum kepada gerak yang bersifat khusus.
e.       Dari gerak refleks bawaan kea rah terkoordinasi, yakni suatu perkembangan yang dimulai dari gerak refleks bawaan yang dibawa sejal lahir ke dunia kepada aneka gerak yang terkoordinasi dan bertujuan.
f.       Chepalo-caudal direction, yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati ekor.
g.      Proximo-distal, yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati sumbu tubuh berkembang lebih dahulu daripada yang lebih jauh.
h.      From bilateral to crossteral coordinate, yakni suatu perkembangan yang dimulai dari koordinasi organ yang sama berkembang lebih dahulu sebelum bisa melakukan koordinasi organ bersilangan.
2.      Teori Perkembangan Biologis
Sekelompok ahli dalam membuat tahapan itu mendasarkan diri pada keadaan atau proses biologis tertentu ; diantara pendapat-pendapat yang demikian itu misalnya : Aristoteles, Kretschmer, dan Freud.
Pendapat Aristoteles
Aristoteles menggambarkan perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa itu dalam 3 face, yang masing-masing lamanya 7 tahun, yaitu :
Fase I              : dari 0,0 sampai 7,0 : masa anak kecil atau masa bermain
Fase II             : dari 7,0 sampai 14,0 : masa anak, masa belajar atau masa sekolah   rendah
Fase III           : dari 14,0 sampai 21,0 : masa remaja atau pubertas ; masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa
Penetapan ini didasarkan atas gejala dalam perkembangan jasmani. Hal ini mudah ditunjukkan: antara fase I dan fase II dibatasi oleh pergantian gigi, antara fase II dan III ditandai oleh mulai berfungsinya kelengkapan kelamin (misalnya kelenjar).
Pendapat Kretschmer
            Kretschmer mengemukakan bahwa dari lahir sampai dewasa individu melewati 4 fase, yaitu :
Fase I              : dari 0,0 sampai kira-kira 3,0 :
                        Fullungsperiode I ; pada fase ini anak kelihatan pendek gemuk.
Fase II             : dari kira-kira 3,0 sampai 7,0 :
Sterckungsperiode I : pada fase ini anak kelihatan langsing (memanjang/meninggi)
Fase II             : dari kra-kira 7,0 sampai 13,0 :
Fullungsperiode I ; pada fase ini anak kelihatan pendek gemuk kembali
Fase IV           : dari kira-kira 3,0 sampai 7,0 :
Sterckungsperiode I : Pada periode ini anak kembali kelihatan langsing
Kehidupan psikis anak-anak pada fase-fase tersebut juga menunjukkan sifat-sifat yang khas. Pada fase-fase Fullung anak menunjukkan sifat-sifat yang mirip dengan tempramen orang berkonstitusi piknik, jadi seperti orang yang cyclothym : jiwanya terbuka, mudah bergaul, mudah didekati, dan sebagainya.
Pendapat Freud
Freud berpendapat bahwa anak sampai kira-kira sampai kira-kira umur 5,0 melewati fase yang terdiferensiasikan secara dinamika, kemudian sampai umur 12,0 atau 13,0 mengalami masa tenang atau fase laten ; pada masa ini dinamika menjadi stabil. Dengan datangnya masa remaja (pubertas) dinamika meletus lagi, dan selanjutnya makin tenang kalau orang menjadi semakin dewasa, yaitu sekitar umur 20,0. Walaupun perkembangan kea rah kedewasaan itu berlangsung sampai induvidu berumur sekitar 20,0, namun bagi Freus masa yang paling menentukan dalam pembentukan kepribadian adalah masa sampai 50,0. Adapun fase-fase perkembangan itu yaitu :
Umur
(tahun)
Fase
Perkembangan
Perubahan
perilaku
0,0 – 1,0
Fase oral
Mulut merupakan daerah pokok aktivitas dinamik
1,0 – 3,0
Fase anal
Dorongan dan tahanan berpusat pada fungsi pembuangan kotoran
3,0 – 5,0
Fase felis
Alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting
5,0 – 13,0
Fase laten
Impuls-impuls atau dorongan-dorongan cenderung terdesak dan mengendap ke dalam bawah sadar
13,0 – 20,0
Fase pubertas
Impuls-impuls mulai menonjol dan muncul kembali. Apabila bisa dipindahkan dan disublimasikan oleh das ich (alam sadar) dengan berhasil, maka ia bisa sampai pada masa kematangan
20,0 ke atas
Fase genital
Individu yang sudah mencapai fase ini telah siap untuk terjun ke dalam kehidupan masyarakat luas

Gambar 4 : tahap perkembangan peserta didik menurut Sigmund Freud
3.      Teori Perkembangan Intelektual
Ahli-ahli yang mengikuti pendapat ini menyatakan bahwa apabila orang berbicara tentang perkembangan psikologis, maka hendaknya dia menggunakan hal-hal psikologis sebagai landasan, bukan keadaan biologis atau keadaan-keadaan lain. Kelompok ahli ini, yang dirintis oleh Kroh, mencari pengalaman-pengalaman psikologis mana yang khas bagi individu pada umumnya yang dapat dugunakan sebagai masa perpindahan dari fase satu ke fase lain dalam perkembangannya. Kelompok ini beranggapan bahwa dalam perkembangan pada umumnya individu mengalami masa-masa kegoncangan. Kalau perkembangan itu dapat dilukiskan sebagai evolusi, maka pada masa kegoncangan itu evolusi tersebut berubah menjadi revolusi.
Kegoncangan psikis itu dialami oleh hamper setiap orang, karena itu dapat digunakan sebagai ancar-ancar perpindahan dari masa satu ke masa lain. Pada umumnya, selama perkembangan individu mengalami masa kegoncangan dua kali, yaitu pertama kira-kira tahun ketiga atau keempat, dan yang kedua pada permulaan masa pubertas.
Pendapat Jean Piaget
Suatu pendapat lain yang berdasarkan atas keadaan psikologis, terutama perkembangan intelektual, adalah Piaget, yang cepat sekali perkembangan dan tingkat popularitasnya, termasuk di Indonesia. Menurut Piaget perkembangan intelektual peserta didik berlangsung dalam :
Umur
(tahun)
Fase
Perkembangan
Perubahan
Perilaku
0,0 – 2,0
Tahap sensori motor
Kemampuan berfikir baru melalui gerakan atau perbuatan. Perkembangan panca indera sangat berpengaruh dalam diri mereka. Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya. Pada usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah ‘menangis’. Member pengetahuan pada mereka pada usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak.
2,0 – 7,0
Tahap pra-operasional
Kemampuan skema kognitif masih terbatas, suka meniru perilaku orang lain terutama meniru perilaku orang tua atau guru yang pernah ia lihat ketika orang itu merespons terhadap perilaku orang, keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Mulai mampu menggunakan kata-kata yang benat dan mampu mengekspresikan kalimat pendek secara efektif.
7,0 – 11,0
Tahap operasional kongkrit
Peserta didik sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi, misalnya volume dan jumlah; mempeunyai kemampuan memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang tingkatannya bervariasi. Sudah mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa konkret
11,0 – 14,0
Tahap operasional formal
Telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan 2 ragam kemampuan kognitif, secara serentak maupun berurutan. Misalnya kapasitas merumuskan hipotesis dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan kapasitas merumuskan hipotesis ia mampu berpikir memecahkan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan. Sedang dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, seperti agama, matematika, dan lainnnya.

Gambar 4 : Tahap perkembangan peserta didik menurut Jean Piaget
Berdasarkan teori ini dapat diketahui 3 dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual yaitu (Ruseffendi, 1988) : (1) bahwa perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama, (2) bahwa tahap-tahap perkembangan didefinisikan sebagai cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, (3) bahwa gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
4.      Teori Perkembangan Sosial
Salah seorang tokoh psikologi perkembangan yang merumuskan teori perkembangan social peserta didik adalah Erik Erikson. Dia sangat dikenal dengan tulisan-tulisannya di bidang psikologi anak. Berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual.erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan social. Dia mengembangkan teori yang disebut teori perkembangan psokososial (theory of psychosocial development) dimana ia membagi tahap-tahap perkembangan manusia menjadi 8 tahapan, yaitu :
Umur
(tahun)
Fase
Perkembangan
Perubahan
perilaku
0,0 – 1,0
Trust
vs
Mistrust

Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa percaya diri kepada orang lain. Focus terletak pada panca indra, sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan.
2,0 – 3,0
Autonomy
vs
Shame
Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa pemberontakan anak atau masa ‘nakal’-nya. Namun kenakalannya tidak dapat dicegah begitu saja, karena tahap ini anak sedang mengembangkan kemampuan motorik (fisik) dan mental (kognitif), sehingga yang diperlukan justru mendorong dan memberikan tempat untuk mengembangkan motorik dan mental. Pada saat ini anak sangat terpengaruh oleh orang-orang penting di sekitarnya, missal orang tua dan guru.
4,0 – 5,0
Inisiative
vs
Guilt
Mereka banyak bertanya dalam segala hal, sehingga berkesan cerewet. Mereka juga mengalami pengembangan inisiatif/ide, sampai pada hal-hal yang berbau fantasi. Perkembangan lain yang harus tercipta adalah identitas diri terutama yang berhubungan dengan jenis kelamin. Anak belajar menjadi laki-laki atau perempuan bukan hanya dari alat kelaminnya tapi juga perlakuan orang di sekelilingnya kepada mereka. Fase ini menjadi penting karena umumnya anak merasakan secara psikologis pengaruh dari jenis kelaminnya. Anak laki-laki cenderung menjadi lebih saying pada ibu, anak perempuan lebih saying pada ayah.
6,0 – 11,0
Industry
vs
Interiority
Mereka sudah bisa mengerjakan tugas-tugas sekolah dan termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk kurang hati-hati dan menuntut perhatian.
12,0 – 18/20
Ego-identify
vs
Role on fusion
Tahap ini manusia ingin mencari identitas dirinya. Anak yang sudah beranjak menjadi remaja mulai ingin tampil memegang peran-peran social di masyarakat. Namun masih belum bisa mengatur dan memisahkan tugas dalam peran yang berbeda.
18/19 – 30
Intimacy
vs
Isolation
Memasuki tahap ini, manusia sudah mulai siap menjalin hubungan intim dengan orang lain, membangun bahtera rumah tangga bersama calon pilihannya.
31 – 60
Generativity
vs
Stagnation
Tahap ini ditandai dengan munculnya kepedulian yang tulus terhadap sesame. Tahap ini terjadi saat seseorang telah memasuki usia dewasa.
60 ke atas
Ego integrity
vs Putus asa
Masa ini dimulai pada usia 60-an, dimana manusia mulai mengembangkan integritas dirinya.

Gambar 5 : tahap perkembangan peserta didik menurut Erik Erikson
5.      Teori Perkembangan Mental
Lev Vygotsky slaah satu tokoh pencetus tori perkembangan mental ppeserta didik. Sumbangan penting yang diberikan Vygotsky dalam pembelajaran adalah konsep zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. ZPD adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat itu. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zone of proximal development (ZPD. Vygotsky juga yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam kerjasama atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi terserap ke dalam individu tersebut (Slavin, 1994). Sedangkan scaffolding adalah memberikan kepada siswa sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepadanya mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1994).
Ada 2 implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan (Howe and Jones, 1993). Pertama, perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding, yakni dengan semakin lama siswa belajar akan semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri. Pendek kata, menurut teori Vygotsky siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi dengan lainnya disertai bantuan guru terhadap parta siswa tersebut dalam kegiatan pembelajaran.
6.      Teori Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, akhlak, akaran tentang kesusilaan, dan tata cara dalam kehidupan. Pertama-tama teori ini dikembangkan oleh Jhon Dewey kemudian dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh et.al, 1980). John Dewey membegi perkembangan moral anak menjadi 3 tahap tingkatan, yaitu :
a.       Tahap “premoral” atau “ preconventional”. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
b.      Tahap “conventionak”. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada criteria kelompoknya.
c.       Tahap “autonomous”. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiiri, tidak sepenuhnya menerima criteria kelompoknya.
Senada dengan Dewey, Piaget juga berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral anak-anak sebagai peserta didik melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka. Menurutnya ketidakmatangan moral anak dikarenakan 2 hal, yakni : (1) keterbatasan moral anak : egosentris dan realistik, (2) rasa hormat pada orang tua/dewasa yang heterogen. Dalam pandangannya tentang tahap-tahap perkembangan morak, Piaget membagi ke dalam 3 tahap, yaitu :


Umur
(tahun)
Fase
perkembangan
Perubahan
perilaku
0,0 – 3,0
Non-morality
Anak belum mengenal moral.
4,0 – 8,0
Heteronomous
Anak sudah mulai menerima dan memiliki aturan begitu saja dari orang lain yang dipandang tidak bisa diubah. Pada tahap ini disebut sebagai masa relisme (stage of moral realism) atau moralitas berkenadala (constraint morality). Tugas dan kewajiban dipandangnya sebagai wujud suatu kepatuhan.
9,0 – 12,0
autonomous
Bahwa moral dipandang sebagai persetujusn bersama secara timbale balik, dapat dipelihara dan diubah sesuai kebutuhan kolektif. Merupakan moralitas bekerjasama (collaborate morality). Tugas dan kewajiban dipandang sebagai kesesuaian dengan harapan-harapan dan kesejahteraan bersama.

Gambar 6 : tahap perkembangan peserta didik menurut Jean Piaget
Selain kedua tokoh di atas, Lawrence Kohlberg (1977) adalah tokoh yang paling popular juga. Kohlberg mengembangkan teorinya berdasarkan pada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget. Tahap-tahap perkembangan moral menurut Dewey yaitu :
a.       Tahap preconventional. Pada tahap ini ada 2 tingkatan. Tingkat-1 adalah moralitas heteronomous, moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh cirri-ciri dan akibat yang bersifat fisik. Tingkat-2 adalah moralitas individu dan timbak balik, seseorang sudah mulai sadar dengan aneka tujuan dan keperluan orang lain. Seseorang akan berusaha untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dengan memperhatikan juga kepentingan orang lain.
b.      Tahap conventional. Pada tahap ini ada 2 tingkatan sebagai kelanjutan sebelumnya yaitu : tingkat-3 moralitas harapan saling antara individu. Pada tingkatan ini criteria baik atau buruknya suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan saling mempercayai. Tingkat-4 yaitu moralitas system social dan kata hati, sesuatu perbuatan dinilai baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat.
c.       Tahap post-conventional. Pada tahap ini terdapat 3 tingkatan, yaitu tingkat -4,5 : tingkat transisi dimana seseorang belum sampai pada tingkat post-conventional yang sebenarnya. Pada tingkat ini criteria benar atau salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu keputusan moral. Tingkat-5 yaitu moralitas kesejahteraan social dan hak-hak manusia, criteria dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Tingkat-6 adalah moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Pada tingkatan ini ukuran benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, konsisten, dan bersifat universal.

7.      Tipologi Kepribadian Peserta Didik
Henry Alexander Murray membagi tipe kepribadian peserta didik anak khususnya usia dini menjadi beberapa macam, yaitu :
a.       Autonomy, yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan keinginan melakukan sesuatu secara sendiri, tidak senang dibantu orang lain, tidak senang disuruh-suruh.
b.      Affiliation, yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan senang bersama anak lain, suka bersahabat, suka memperbanyak teman, saling membutuhkan dengan teman dan sahabatnya.
c.       Succurance, yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan selalu manja, ingin orang lain membantunya, ingin minta tolong.
d.      Nurturance, yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan sikap pemurah yakni senang member kepada teman, senang meminjami, selalu membagi-bagi apa yang dimiliki kepada temannya.
e.       Aggression, yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan sikap-sikap agresif, mudah tersinggung dan marah, jika diganggu akan menyerang balik dengan keras bahkan berlebihan.
f.       Dominance, yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan ingin menguasai atau mengatur teman, ingin tampil menonjol, ingin menjadi ketua kelas atau pengurus kelas.
g.      Achievement, yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan semangat kerja yang tinggi untuk berprestasi, ingin bisa melakukan sesuatu karya, tugas-tugas di sekolah dikerjakan sungguh-sungguh dan cenderung tak mau dibantu.

8.      Kecerdasan Ganda Peserta Didik
Kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar budaya tertentu. Rentang masalah atau sesuatu yang dihasilkan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Seseorang dikatakan cerdas bila ia dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam hidupnya dan mampu menghasilkan sesuatu yang berharga/berguna bagi umat manusia.
Howard Gardner memperkenalkan sekaligus mempromosikan hasil penelitian Project Zero di Amerika yang berkaitan dengan kecerdasan ganda (multiple intelligences). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada satuan kegiatan manusia yang hanya menggunakan satu macam kecerdasan, melainkan seluruh kecerdasan yang selama ini dianggap ada 7 macam kecerdasan dan pada buku yang mutakhir ditambah lagi 3 macam kecerdasan. Secara keseluruhan semua kecerdasan tersebut dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang menonjol akan mengontrol kecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah.
Kesepuluh macam kecerdasan itu antara lain :
a.       Kecerdasan verbal/bahasa (verbal/linguistic intelligence)
Kecerdasan ini bertanggungjawab terhadap semua hal tentang berbahasa baik lisan maupun tertulis. Peserta didik dengan kecerdasan lingual tinggi umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa, memiliki daya ingat kuat, lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan, dan memiliki kemampuan lebih cepat dalam penguasaan bahasa baru.
b.      Kecerdasan logika/matematik (logical/spasial intelligence)
Kecerdasan ini sering disebut berpikir ilmiah, termasuk berpikir deduktif dan induktif. Peserta didik dengan kecerdasan matematik tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapi, menyenangi berpikir secara konseptual, menyukai aktivitas berhitung, dan mempunyai kecepatan tinggi dalm menyelesaikan problem matematika.
c.       Kecerdasan visual/ruang (visual/spatial intelligence)
Kunci dari kecerdasan ini ialah kemampuan berimajinasi dan indera pandang. Keserdasan ini berkaitan dengan misalnya seni rupa, navigasi, arsitektur, dan permainan catur. Cerita khayal pada masa kecil seperti mengkhayal, mimpi terbang, mempunyai kekuatan ajaib, sebagai pahlawan, sangat erat dengan perkembangan kecerdasan ini.
d.      Kecerdasan tubuh/gerak tubuh (body/kinesthetic intelligence)
Kecerdasan tubuh mengendalikan kegiatan tubuh untuk menyatakan perasaan. Tubuh manusia mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh pikiran. Gerak tubuh dapat untuk memahami dan berkomunikasi, dan tidak jarang dapat menyentuh sisi jiwa manusia yang paling dalam.
e.       Kecerdasan musical/ritmik (musical/rhythmic intelligence)
Kecerdasan ritmik melibatkan kemampuan manusia untuk mengenali dan menggunakan ritme dan nada, serta kepekaan terhadap bunyi-bunyian di lingkungan sekitar manusia. Dari semua kecerdasan, perubahan kesadaran manusia banyak disebabkan oleh musik dan ritme. Music dapat menenangkan pikiran, memacu kembali aktivitas, memperkuat semangat nasional, dan dapat meningkatkan keimanan serta rasa syukur.
f.       Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence)
Kecerdasan ini berhubungan dengan kemampuan bekerja sama dan berkomunikasi bail verbal maupun non verbal dengan orang lain. Pada tingkat yang lebih tinggi, kecerdasan ini dapat membaca konteks kehidupan orang lain, kecenderungannya, dan kemungkinan keputusan yang akan diambil. Kecerdasan ini tampak pada para profesional seperti konselor, guru, teraphis, poltisi, dan pemuka agama.
g.      Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence)
Kecerdasan ini mengendalikan pemahaman terhadap aspek internal diri seperti perasaan, proses berpikir, refleksi diri, intuisi, dan spiritual. Identitas diri dan kemampuan mentransendenkan diri merupakan bagian kecerdasan ini. Menurut Gardver, kecerdasan ini merupakan jenis yang paling individu sifatnya, dan untuk menggunakannya diperlukan semua kecerdasan yang lain.
h.      Kecerdasan naturalis (naturalistic intelligence)
Peserta didik dengan kecerdasan ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam. Oleh karenanya mereka menyukai alam-alam bebas, binatang, dan petualangan alam dimana mereka bisa belajar.
i.        Kecerdasan spiritual (spiritualist intelligence)
Kecerdasan ini banyak dimiliki oleh para rohaniwan. Kecerdasan ini berkaitan dengan bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhannya. Kecerdasan ini dapat dikembangkan pada setiap orang melalui pendidikan agama, kontemplasi kepercayaan, dan refleksi teologis.
j.        Kecerdasan eksistensial (exsistensialist intelligence)
Kecerdasan ini banyak dijumpai pada para filsuf. Mereka mampu menyadari dan menghayati dengan benar keberadaan dirinya di dunia dan apa tujuan hidupnya. Melalui kontemplasi dan refleksi diri kecerdasan ini dapat berkembang.

9.      Peserta Didik Berbakat
Bakat merupakan suatu kelebihan yang dimiliki oleh peserta didik yang mengarah pada aneka kemampuan. Sedangkan minat adalah keinginan yang berasal dari dalam diri peserta didik terhadap obyek atau aktivitas tertentu. Menurut Yaumil (1991) ada 3 kelompok cirri keberbakatan, yitu : (1) kemampuan umum yang tergolong di atas rata-rata (above average ability), (2) kreativitas (creativity) yang tergolong tinggi, (3) komitmen terhadap tugas (task comitment) yang tergolong tinggi. Sedangkan Munandar (1992) menyebut cirri-ciri peserta didik berbakat adalah : pertama, indikator intelektual/belajar, mencakup : kemudahan dalam menangkap pelajaran, kemudahan mengingat kembali, memiliki perbendaharaan kata yang luas, penalaran yang tajam, daya konsentrasi baik, senang membaca. Kedua, indikator kreativitas, mencakup : memiliki rasa ingin tahi yang besar, sering mangajukan pertanyaan yang berbobot, memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, memiliki rasa humor tinggi, memiliki daya imajinasi kuat, senagn mencoba hal-hal baru, kemampuan elaborasi atau mengembangkan suatu gagasan.
Ketiga, indicator motivasi, meliputi : tekun menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi, senang dan rajin belajar, penuh semangat, cepat bosan dengan tugas-tugas rutin, serta senag mencari dan memecahkan soal-soal.

1 komentar:

Pembelajar Sejati mengatakan...

bisa buat belajar UAS :) terimakasih :)

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme Template Blog Free | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes