Pendidikan,
sebagai suatu ilmu, teknologi, dan profesi tidak luput dari gejala perkembangan
itu. Kalau semula hanya orang tua yang bertindak sebagai pendidik, kemuudian
kita kenal profesi guru yang diberi tanggung jawab mendidik. Sekarang ini
secara konseptual maupun secara legal telah dikenal dan ditentukan sejumlah
keahlian khusus, jabatan, dan atau profesi termasuk dalam kategori tenaga
kependidikan. Setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan,
mempunyai hak untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan
yang lain dalam melaksanakan tugasnya. Sarana, prasarana, dan fasilitas
pendidikan itu perlu disediakan, dikembangkan, dan dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya supaya diperoleh efektifitas dan efisiensi yang tinggi.
Teknologi
pendidikan hanya mungkin dikembangkan dan dimanfaatkan dengan baik bilamana ada
tenaga yang menanganinya. Mereka adalah tenaga profesi pengembang teknologi
pendidikan. Tenaga profesi ini adalah tenaga terampil, mahir, dan atau ahli
dalam melaksanakan pengelolaan proses dan sumber untuk belajar. Tentu saja derajat
keterampilan, kemahiran, atau keahlian itu tdak harus sama pada semua
professional. Tenaga profesi teknologi pendidikan mempunyai tanggung jawab
kepada peserta didik sebagai perorangan, kepada masyarakat, kepada rekan
seprofesi dan profesi lain yang berkaitan, serta kepada profesinya sendiri
dalam melaksanakan tugasnya.
Mereka
yang berprofesi atau bergerak dalam bidang teknologi pendidikan atau singkatnya
Teknolog Pendidikan, harus mempunyai komitmen dalam melaksanakan tugas
profesionalnya yang utama yaitu terselenggaranya proses belajar bagi setiap
orang, dengan dikembangkan dan digunakannya berbagai sumber belajar selaras
dengan karakteristik masing-masing pembelajar (learners) serta perkembangan lingkungan. Karena lingkungan itu
senantiasa berubah, maka para Teknolog Pendidikan harus senantiasa mengikuti
perkembangan atau perubahan itu, dan oleh karena itu ia dituntut untuk selalu
mengembangkan diri sesuai dengan kondisi lingkungan dan tuntutan zaman,
termasuk selalu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Profesi ini bukan
profesi yang netral dan bebas nilai. Ia merupakan profesi yang memihak kepada
kepentingan pembelajar agar mereka memperoleh kesempatan untuk belajar agar
mereka memperoleh kesempatan untuk belajar agar potensi dirinya dapat
berkembang semaksimal mungkin.
Berdasarkan
Naskah Akademik tentang jabatan fungsionalis Teknologi Pendidikan, maka tugas
pokok Teknolog Pembelajaran atau Perakayasa Pembelajaran adalah (Yusufhadi
Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, 2009):
1.
Pengembangan bidang kajian dan kawasan
teknologi/rekayasa pembelajaran
2. Perancangan
dan pengembangan proses, sumber, dan sistem pembelajaran
3. Produksi
bahan belajar
4. Penyediaan
sarana dan prasarana belajar
5. Pemilihan
dan penilaian sistem dan komponen sistem pembelajaran
6. Pemanfaatan
proses dan sumber belajar
7. Penyebaran
konsep dan temuan teknologi pendidikan
8. Pengelolaan
kegiatan pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar
9. Perumusan
bahan kebijakan teknologi/rekayasa pembelajaran
Semua anak itu
pintar. Semua anak pada dasarnya cerdas dan ceria. Hanya saja kecerdasan
uniknya mungkin kurang cocok dengan sistem pendidikan yang lebih menekankan
keterampilan 3M-menulis, membaca, matematika-padahal setiap anak memiliki
kecerdasan majemuk dengan kadar yang berbeda-beda. Jadi, bila baginya sekolah
itu menakutkan berarti sudah waktunya Teknolog Pendidikan serta tenaga
kependidikan lainnya membantu anak mempelajari pelajaran sekolah sesuai dengan kecerdasan
uniknya sendiri agar ia mampu memahaminya dengan lebih mudah.
Strategi
pembelajaran Multiple Intelligence (MI) pada hakikatnya adalah
upaya mengoptimalkan kecerdasan majemuk yang dimiliki setiap individu (siswa)
untuk mencapai kompetensi tertentu yang dituntut oleh sebuah kurikulum. Amstrong, seorang
pakar di bidang Multiple Intelligences mengatakan
bahwa dengan teori kecerdasan majemuk memungkinkan guru mengembangkan strategi
pembelajaran inovatif yang relatif baru dalam dunia pendidikan. Meskipun
demikian ia menambahkan, bahwa tidak ada rangkaian strategi pembelajaran yang
bekerja secara efektif untuk semaua siswa. Setiap siswa memiliki kecenderungan
tertentu pada semua kecerdasan yang ada. Oleh karena itu suatu strategi mungkin
akan efektif pada sekelompok siswa, tetapi akan gagal bila diterapkan pada
kelompok lain. Dengan dasar ini sudah seharusnya diperhatikan jenis kecerdasan
yang menonjol pada masing-masing siswa agar dapat menentukan strategi
pembelajaran yang tepat untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri siswa.
Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa setiap strategi yang ada
pada masing-masing kecerdasan dapat diimplementasikan untuk semua mata
pelajaran yanga ada dalam kurikulum. Misalnya strategi pembelajaran
Matematis-Logis dapat diimplementasikan bukan saja dalam mata pelajaran lainnya seperti Bahasa, Fisika, atau mata
pelajaran yang menuntut unsure logika di dalamnya.
Satu hal yang
harus diingat adalah bahwa teori MI bukan saja merupakan konsep kecerdasan yang
ada pada diri masing-masing individu, tetapi juga merupakan strategi
pembelajaran yang ampuh untuk menjadikan siswa keluar sebagai juara pada jenis
kecerdasan tertentu. Gardner mengatakan, sebab pada dasarnya setiap individu
memiliki satu atau lebih kecerdasan yang menonjol dari semua kecerdasan yang
ada. Bukankah Einstein yang dikatakan cerdas juga mempunyai kelemahan pada
jenis kecerdasan lainnya? Einstein adalah orang yang sangat cerdas pada dua
jenis kecerdasan yaitu Matematis-Logis dan Spasial. Sementara untuk jenis
kecerdasan yang lain, ia tidak terlalu menonjol.
Strategi
pembelajaran MI pada praktiknya adalah memacu kecerdasan yang menonjol pada
diri siswa seoptimal mungkin, dan berupaya mempertahankan kecerdasan lainnya
pada standar minimal yang ditentukan oleh lembaga atau sekolah. Dengan
demikaian penggunaan strategi pembelajaran MI tetap berada pada posisi yang selalu
menguntungkan bagi siswa yang menggunakannya. Satu hal yang pasti, siswa akan
keluar sebagai individu yang memiliki jati diri, yang potensial pada salah satu
atau lebih dari semua jenis kecerdasan yang dimilikinya.
Ada dua tahapan
yang harus dilakukan dalam penerapan strategi pembelajaran MI agar mendapatkan
hasil yang optimal, yaitu (Dewi Salma Prawiradilaga, dkk, Mozaik Teknologi
Pendidikan, 2004) :
1. Memberdayakan
semua jenis kecerdasan pada setiap mata pelajaran
Secara empirik untuk
menerapkan strategi pembelajaran MI dapat dimulai dengan melakukan reposisi
pada kurikulum yang ada sekarang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengubah
Tujuan Instruksional Khusus (TIK) yang ada menjadi kompetensi yang diharapkan.
Dengan demikian setiap TIK atau pokok bahasan dituntut untuk memberdayakan
semua atau sebagian besar jenis kecerdasan yang ada.
2. Mengoptimalkan
pencapaian mata pelajaran tertentu berdasarkan kecerdasan yang menonjol pada
massing-masing siswa
Tahap kedua ini ditempuh apabila
secara factual guru telah mengidentifikasikan kecerdasan yang menonjol pada
maisng-masing siswa. Ada satu atau lebih kecerdasan yang menonjol pada
masing-masing individu. Strategi pembelajaran yang digunakan lebih bersifat
personal atau individual. Siswa yang memiliki kecerdasan linguistik misalnya,
akan dioptimalkan pencapaian hasil belajarnya pada mata pelajaran Bahasa dan
Sastra. Sedangkan mereka yang mempunyai kecerdasan Matematis-Logis misalnya,
akan diarahkan pada pencapaian hassil belajar Matematikanya seoptimal mungkin
melalui pemberian layanan individu dan akses ke berbagai kesempatan yang
memungkinkan kecerdasan Matematikanya terus berkembang. Begitu pula selanjtnya
dengan kecerdasan-kecerdasan lainnya.
Amstrong,
Thomas. 2002. Setiap Anak Cerdas. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Yusufhadi
Miarso. 2009. Menyemai Benih Teknologi
Pendidikan. Jakarta: Prenada Media
Dewi Salma
Prawiradilaga, dkk. 2004. Mozaik
Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media
0 komentar:
Posting Komentar